Sunday, 18 July 2010
Thursday, 18 March 2010
Friday, 12 March 2010
Perempuan Dalam Kehidupan Tan Malaka
PERNAHKAH Tan Malaka mencintai perempuan? Pertanyaan seperti ini banyak menggoda setiap orang. Selama ini Tan Malaka lebih dikenal sebagi pejuang yang revolusioner yang tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan. Jarang sekali kehidupan pribadinya dibicarakan, apalagi yang berkaitan dengan perempuan.
"Ada beberapa perempuan yang singgah di hatinya," kata Harry A. Poeze, peneliti Tan Malaka.
Perempuan pertama, kata Harry, adalah Syaripah Nawawai, teman sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School di Bukittinggi. Syaripah adalah anak Nawawi Sutan Makmur, guru bahasa Melayu dan satu-satunya guru pribumi di sekolah itu. Syaripah juga satu-satunya perempuan pribumi yang bersekolah di tempat itu.
"Tan Malaka jatuh cinta kepada Syaripah, kemungkinan karena ini Tan Malaka menolak bertunangan dengan gadis di kampungnya, Pandan Gadang, saat ia akan berangkat ke Belanda," kata Harry.
Pada waktu Tan Malaka pergi ke Belanda. Maka dia kirim surat pada Syaripah dan bilang ia mencintai Syaripah dan berharap Syaripah mau menunggunya. Namun surat-surat itu tidak dibalas. Tan Malaka bertepuk sebelah tangan, ternyata Syaripah tidak mencintainya.
"Saya pernah bertemu Syaripah pada 1980-an, sebelum beliau meninggal, Syaripah yang menceritakan isi surat Tan Malaka itu kepada saya, saya menanyakan kenapa Syaripah tidak mencintai Tan Malaka, Syaripah mengatakan bahwa Tan Malaka orang yang aneh," ujarnya.
Karena Syaripah tidak pernah membalas suratnya, Tan Malaka berhenti menulis surat kepadanya. Syaripah akhirnya menikah dengan seorang regent atau bupati di Bandung yang sudah memiliki dua orang selir.
"Ini sejarah yang sedikit tragis dan lucu," ujar Harry.
Di Belanda, saat bersekolah, Tan Malaka juga pernah punya pacar, namanya Fenny Struyuenberg, seorang mahasiswa kedokteran. "Namun saya tidak sempat menemui Fenny, karena Fenny mati muda," kata Harry.
Di dalam satu surat kabar lama di Rusia juga pernah disebutkan Tan Malaka memiliki kekasih gadis Rusia, tetapi tidak disebutkan namanya, apalagi fotonya.
Setelah 20 tahun mengembara, pulang ke Indonesia pada 1945, Tan Malaka bertemu dengan Paramita Abdul Rahman. Paramita adalah keponakan Subarjo Djoyohadisuryo, Menteri Luar Negeri saat itu. Paramita adalah ketua Palang Merah Indonesia ketika itu.
Paramita dianggap tunangan Tan Malaka, namun ‘pertunangan' ini akhirnya kandas.
Kepada Harry Poeze Paramita mengatakan Tan Malaka seorang yang mengidolakan perempuan seperti R A Kartini dan dalam tingkah laku harus ada simbol perempuan Indonesia.
"Bagi Paramita yang cinta sekali dengan Tan Malaka ini peristiwa yang sangat sulit dan sukar dibicarakan, hingga tua bahkan Paramita tidak menikah," kata Harry.
"Kata SK Trimurti kepada saya, dalam bidang perempuan Tan Malaka adalah orang yang sangat bersih, dia amat menghormati perempuan, ini berbeda sekali dengan Soekarno," kata Harry.
Namun dalam surat yang ditulis Tan Malaka, Tan Malaka bilang, dalam hidupnya hanya ada satu tujuan, memerdekakan Indonesia dari Belanda.
"Saya kira Tan Malaka seperti beberapa orang revolusioner lainnya di dunia, yang hanya punya satu tujuan dalam hidupnya, tidak untuk perempuan, dalam kesimpulan ini, Tan Malaka tidak punya waktu untuk perempuan, tujuannya hanya revolusi, mungkin sesudah revolusi baru ada tempat untuk perempuan, tetapi ia meninggal sebelum revolusi selesai.
Sumber : "PadangKini.com | Selasa, 12/08/2008, 11:11 WIB
"Ada beberapa perempuan yang singgah di hatinya," kata Harry A. Poeze, peneliti Tan Malaka.
Perempuan pertama, kata Harry, adalah Syaripah Nawawai, teman sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School di Bukittinggi. Syaripah adalah anak Nawawi Sutan Makmur, guru bahasa Melayu dan satu-satunya guru pribumi di sekolah itu. Syaripah juga satu-satunya perempuan pribumi yang bersekolah di tempat itu.
"Tan Malaka jatuh cinta kepada Syaripah, kemungkinan karena ini Tan Malaka menolak bertunangan dengan gadis di kampungnya, Pandan Gadang, saat ia akan berangkat ke Belanda," kata Harry.
Pada waktu Tan Malaka pergi ke Belanda. Maka dia kirim surat pada Syaripah dan bilang ia mencintai Syaripah dan berharap Syaripah mau menunggunya. Namun surat-surat itu tidak dibalas. Tan Malaka bertepuk sebelah tangan, ternyata Syaripah tidak mencintainya.
"Saya pernah bertemu Syaripah pada 1980-an, sebelum beliau meninggal, Syaripah yang menceritakan isi surat Tan Malaka itu kepada saya, saya menanyakan kenapa Syaripah tidak mencintai Tan Malaka, Syaripah mengatakan bahwa Tan Malaka orang yang aneh," ujarnya.
Karena Syaripah tidak pernah membalas suratnya, Tan Malaka berhenti menulis surat kepadanya. Syaripah akhirnya menikah dengan seorang regent atau bupati di Bandung yang sudah memiliki dua orang selir.
"Ini sejarah yang sedikit tragis dan lucu," ujar Harry.
Di Belanda, saat bersekolah, Tan Malaka juga pernah punya pacar, namanya Fenny Struyuenberg, seorang mahasiswa kedokteran. "Namun saya tidak sempat menemui Fenny, karena Fenny mati muda," kata Harry.
Di dalam satu surat kabar lama di Rusia juga pernah disebutkan Tan Malaka memiliki kekasih gadis Rusia, tetapi tidak disebutkan namanya, apalagi fotonya.
Setelah 20 tahun mengembara, pulang ke Indonesia pada 1945, Tan Malaka bertemu dengan Paramita Abdul Rahman. Paramita adalah keponakan Subarjo Djoyohadisuryo, Menteri Luar Negeri saat itu. Paramita adalah ketua Palang Merah Indonesia ketika itu.
Paramita dianggap tunangan Tan Malaka, namun ‘pertunangan' ini akhirnya kandas.
Kepada Harry Poeze Paramita mengatakan Tan Malaka seorang yang mengidolakan perempuan seperti R A Kartini dan dalam tingkah laku harus ada simbol perempuan Indonesia.
"Bagi Paramita yang cinta sekali dengan Tan Malaka ini peristiwa yang sangat sulit dan sukar dibicarakan, hingga tua bahkan Paramita tidak menikah," kata Harry.
"Kata SK Trimurti kepada saya, dalam bidang perempuan Tan Malaka adalah orang yang sangat bersih, dia amat menghormati perempuan, ini berbeda sekali dengan Soekarno," kata Harry.
Namun dalam surat yang ditulis Tan Malaka, Tan Malaka bilang, dalam hidupnya hanya ada satu tujuan, memerdekakan Indonesia dari Belanda.
"Saya kira Tan Malaka seperti beberapa orang revolusioner lainnya di dunia, yang hanya punya satu tujuan dalam hidupnya, tidak untuk perempuan, dalam kesimpulan ini, Tan Malaka tidak punya waktu untuk perempuan, tujuannya hanya revolusi, mungkin sesudah revolusi baru ada tempat untuk perempuan, tetapi ia meninggal sebelum revolusi selesai.
Sumber : "PadangKini.com | Selasa, 12/08/2008, 11:11 WIB
Resensi Novel "Tarian Bumi"
“Kelak kalau kau jatuh cinta dengan seorang laki-laki,
kau harus mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang harus kau simpan....
Apa untungnya laki-laki itu untukmu....
Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sebuah sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih....” (Rusmini, 2004: 21)
Perempuan diakui keberadaannya sebagai makhluk hidup, tetapi lingkup kehidupannya dipercayai telah dibatasi oleh kewajiban biologis. Kewajiban biologis itu bergantung pada konstruksi tubuhnya yang menentukan secara alamiah apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja, keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah menjadikan fungsi mengandung dan melahirkan anak sebagai kewajiban mutlak perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat. Oleh karena itulah, perempuan mempertanyakan akan pentingnya kewajiban tersebut sebagaimana layaknya manusia yang mampu berpikir, mereka dianggap melawan kehendak alam.
Berangkat dari hal-hal seperti itu, masyarakat telah menghidupkan sebuah tataran aturan yang meletakkan perempuan pada nomor dua setelah laki-laki. Pembagian peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan kewajiban baik laki-laki maupun perempuan yang sudah dibentuk dan dikembangkan oleh sosial, budaya dari sekelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu dan tempat serta kondisi setempat inilah yang disebut dengan gender (Purwati, 2003).
Ketimpangan atau pengkotak-kotakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam karya-karya sastra. Tidak banyak karya sastra yang berani melawan atau menampilkan cerita berbeda dengan mengungkap masalah gender dari sudut perempuan.
Saman karya Ayu Utami adalah salah satu novel atau karya sastra yang perlu diakui karena telah berani mengungkapkan hak-hak perempuan, harga diri, dan keinginan-keinginan perempuan. Sesuatu yang langka ditemui pada novel dekade 1970-an hingga awal 1980-an. Teori-teori yang berkaitan dengan tubuh, kekuasaan, kontrol politik terhadap tubuh perempuan melalui patriarki adalah termasuk tema utama dalam feminisme. Penulis lain yang banyak juga menulis tentang perempuan dan selalu mengaitkannya dengan budaya patriarki di dalam adat adalah Oka Rusmini.
Salah satu novel karya Oka Rusmini yang sarat dengan pemberontakan perempuan terhadap budaya dan adat yang merugikannya adalah Tarian Bumi. Tarian Bumi terbit pertama kali pada tahun 2000 dan mendapat penghargaan “Penulisan Karya Sastra 2003” dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Novel ini adalah salah satu karya yang menandai sebuah babak baru penulisan prosa panjang di Indonesia. Tarian Bumi menampilkan dunia perempuan yang sama sekali berbeda dibandingkan penggambaran yang pernah ada dalam khasanah sastra sebelumnya. Perempuan dalam Tarian Bumi, dicitrakan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, dan memberontak.
Luh Sekar dan Telaga; Kasta dan Perempuan
Tarian Bumi bercerita tentang Luh Sekar dan Telaga. Dua tokoh, ibu dan anak yang berbeda pandangan tentang arti sebuah kebahagiaan. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta sudra yang sangat berkeinginan untuk menikah dengan lelaki dari kasta Brahmana. Cita-cita Luh Sekar pun menjadi kenyataan ketika menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki brahmana, yang tidak bisa apa-apa, kecuali mabuk-mabukan dan juga bercinta sembarangan dengan berbagai macam perempuan termasuk dengan Kerta dan Kerti, dua adik perempuan Luh Sekar. Setelah menikah dengan lelaki kasta Brahmana, nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Jero merupakan gelar yang diberikan kepada perempuan kasta rendah yang menikah dengan lelaki dengan kasta Brahmana.
Dari pernikahannya ini, lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Berbeda dengan ibunya yang begitu mengagungkan nilai derajat kebangsawanan, maka Telaga Pidada justru memandang bahwa kasta Brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga Pidada pun lebih tertarik dengan Wayan Sasmitha, seorang lelaki dari kasta rendah. Segala kemewahan, kemudahan yang didapat selama tinggal di griya dan juga gelar kebangsawanan ditanggalkan oleh Telaga Pidada demi Wayan Sasmitha. Telaga Pidada tinggal bersama Wayan, Luh Gumbreg dan Luh Sadri, adik dari Wayan dengan kehidupan khas keluarga sudra yang serba kesusahan, tetapi Telaga Pidada bahagia dengan pilihannya tersebut.
Masyarakat Bali, yang mayoritas menganut agama Hindu, mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Kasta yang paling tinggi dan mendapat perlakuan yang istimewa adalah kaum brahmana atau bangsawan, sedangkan kasta yang terendah, atau masyarakat paling bawah adalah kaum sudra. Sistem kasta ini secara otomatis menjadikan laki-laki sebagai puncak atau titik tolak segala sesuatu, termasuk kekuasaan sehingga menimbulkan sebuah sistem yang disebut dengan sistem patriarki. Patriarki adalah suatu sistem di mana seorang laki-laki mempunyai hak monopoli penuh atas segala kekuasaan, baik untuk rumah tangga atau untuk tubuh perempuan yang menjadi istrinya.
Pada Tarian Bumi, hal ini diperlihatkan oleh pengarang sebagai sesuatu yang menjadikan perempuan sebagai objek penderita di dalamnya.
”Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. ...Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (Rusmini, 2004: 31)
Bagi perempuan Bali, hidup adalah menerima. Tidak diperkenankan untuk bertanya, apalagi mengeluh sehingga apapun yang sudah digariskan pada diri mereka harus mereka terima, dan yang bisa mengubah itu semua hanyalah pihak laki-laki, salah satunya lewat perkawinan. Hal ini juga diakui oleh Luh Sekar. Ia yang terlahir sebagai perempuan dari kasta terendah percaya bahwa yang bisa mengubah nasibnya hanyalah seorang laki-laki, laki-laki dari kasta brahmana.
”Apapun yang akan terjadi dengan hidupku, aku harus menjadi seorang rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki-laki itu, aku tak akan pernah menikah!” (Rusmini, 2004: 26)
”...Tolong carikan aku seorang Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar. aku siap!” (Rusmini, 2004: 27)
Sikap Luh Sekar ini, yang menganggap bahwa nasibnya ada di tangan laki-laki, adalah sikap perempuan Bali pada umumnya. Mereka masih bersikap intensifying, yaitu menuruti segala peraturan adat dan tata perilaku pada umumnya tanpa peduli bahwa hal tersebut bisa merugikan diri mereka sendiri.
Oleh karena itulah, oleh karena perannya yang sangat penting, laki-laki menganggap dirinya lebih tinggi dan seperti mendapat kekuasaan penuh pada diri perempuan yang telah dikawininya sehingga seringkali berbuat sewenang-wenang terhadap mereka.
...Dan, kalau sudah mengamuk, seluru perabot di rumah akan hancur. Entah apa maunya laki-laki itu. Selalu membuat susah. (Rusmini, 2004: 15)
... Dia selalu menghilang berbulan-bulan. Biasanya bila di rumah kerjanya hanya meneguk minuman. Ayah juga tidak bekerja. (Rusmini, 2004: 25)
Tarian Bumi; Pemberontakan dan Perempuan
Decomposing, atau pemberontakan terhadap nilai-nilai lama, yang pertama ditunjukkan dalam novel ini adalah lewat pandangan Ida Ayu Sagra Pidada, Nenek Telaga. Mulanya, seperti kebanyakan perempuan Bali, Nenek Telaga juga berpandangan bahwa apapun yang telah dilakukan oleh seorang laki-laki, selama ia adalah suaminya, maka kewajiban seorang istri-lah untuk berbakti dan menghormatinya.
...Laki-laki itu makin jarang di rumah. Nenek juga takut menanyakan ke mana saja laki-laki itu pergi. Nenek takut ditinggalkan. (Rusmini, 2004: 18)
Meski itu suaminya sendiri, tapi Nenek Telaga tidak berani untuk mencampuri urusan pribadinya. Ia masih berpikir, jika ia ditinggalkan, maka ia akan menjadi perempuan yang hina. Nenek Telaga juga berpikiran bahwa perempuan tidak punya kekuatan yang lebih dibandingkan laki-laki.
”Membangun sebuah dinasti itu sulit, Telaga. Apalagi sebagai seorang perempuan,” (Rusmini, 2004: 20)
Nenek telaga masih bersikap intesifyng, masih berpikiran bahwa perempuan tidak mungkin mengalahkan laki-laki, dalam setiap hal, apalagi memimpin sebuah keluarga. Nenek telaga masih beranggapan bahwa perempuan hanyalah mahluk lemah yang tidak bisa apa-apa, jika tidak ada laki-laki. Namun, akibat kekecewaannya terhadap laki-laki, suami dan anak laki-lakinya, Nenek Telaga mulai berpikir bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan hanya terletak di tangan laki-laki.
“Kelak kalau kau jatuh cinta dengan seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang harus kau simpan...Apa untungnya laki- laki itu untukmu....Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sebuah sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih....” (Rusmini, 2004: 21)
Ia-lah yang menanamkan pikiran pada Telaga, bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada laki-laki saja, tapi perempuan juga ikut menentukan kebahagiaan itu sendiri. Salah satunya adalah dengan cara memilih, bukan hanya dipilih.
Tokoh perempuan lain, yang juga melakukan Decomposing, dalam Tarian Bumi adalah Luh Kenten, teman Luh Sekar. Sosok Kenten menggambarkan perempuan yang berbeda, ia memiliki tenaga kuat, bekerja sendiri, dan tidak pernah merasa butuh laki-laki.
Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegas. Tak ada seorang pun yang berani berkata-kata kasar dan tidak pantas padanya. (Rusmini, 2004: 36)
Lewat tokoh Luh Kenten yang hanya membenci laki-laki dan mencintai perempuan, Oka Rusmini menawarkan sebuah pemberontakan dari sistem patriarki, sistem laki-laki yang membuat perempuan menderita.
"Akan aku buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki..." (Rusmini, 2004: 42)
Luh Kenten selalu beranggapan bahwa perempuan jauh lebih berharga dibandingkan laki-laki. Oleh karena itulah ia tidak pernah merasa butuh laki-laki untuk menemani kehidupannya.
Dia percaya perempuan adalah mahluk luar biasa. Buktinya, dalam tubuh perempuan ada susunan yang lebih rumit daripada laki-laki. Setiap lekuk tubuh perempuan menawarkan sensualitas yang luar biasa. (Rusmini, 2004: 42—43)
Tokoh yang melakukan Decomposing berikutnya adalah Telaga sendiri. Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana. Telaga membenci ayahnya yang hanya bisa membuat ibunya menderita.
...Bagi Telaga, ayahnya adalah laki-laki paling tolol....Ketololan laki-laki itu membuat Telaga merasa bisa hidup tanpa laki-laki. (Rusmini, 2004: 12)
Puncak Decomposing yang dilakukan oleh Telaga, yaitu ia berani menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial.
Namun, Telaga tetap pada pendiriannya, dengan menikahi Wayan, Telaga membuktikan bahwa ia-lah yang memilih siapa yang akan menjadi suaminya, bukan sistem atau adat. Meskipun untuk itu ia harus melepas semua gelar kebangsawananya.
” Hari ini juga tiang akan meninggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi perempuan Sudra yang utuh...” (Rusmini, 2004: 220)
”Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan, hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” (Rusmini, 2004: 222)
Novel Tarian Bumi, dengan mengambil budaya Bali sebagai latar, merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. Filsafat Bersperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan. Jakarta, 2003
Bambang, Eko. 2003. “Oka Rusmini; Melawan Tradisi Patriarkhi”. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Purwati, Apa itu Gender, http;// www.ceritaremaja.com
Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: IndonesiaTera
kau harus mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang harus kau simpan....
Apa untungnya laki-laki itu untukmu....
Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sebuah sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih....” (Rusmini, 2004: 21)
Perempuan diakui keberadaannya sebagai makhluk hidup, tetapi lingkup kehidupannya dipercayai telah dibatasi oleh kewajiban biologis. Kewajiban biologis itu bergantung pada konstruksi tubuhnya yang menentukan secara alamiah apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya saja, keberadaan rahim dalam tubuh perempuan sudah menjadikan fungsi mengandung dan melahirkan anak sebagai kewajiban mutlak perempuan yang tidak bisa diganggu-gugat. Oleh karena itulah, perempuan mempertanyakan akan pentingnya kewajiban tersebut sebagaimana layaknya manusia yang mampu berpikir, mereka dianggap melawan kehendak alam.
Berangkat dari hal-hal seperti itu, masyarakat telah menghidupkan sebuah tataran aturan yang meletakkan perempuan pada nomor dua setelah laki-laki. Pembagian peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan kewajiban baik laki-laki maupun perempuan yang sudah dibentuk dan dikembangkan oleh sosial, budaya dari sekelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu dan tempat serta kondisi setempat inilah yang disebut dengan gender (Purwati, 2003).
Ketimpangan atau pengkotak-kotakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam karya-karya sastra. Tidak banyak karya sastra yang berani melawan atau menampilkan cerita berbeda dengan mengungkap masalah gender dari sudut perempuan.
Saman karya Ayu Utami adalah salah satu novel atau karya sastra yang perlu diakui karena telah berani mengungkapkan hak-hak perempuan, harga diri, dan keinginan-keinginan perempuan. Sesuatu yang langka ditemui pada novel dekade 1970-an hingga awal 1980-an. Teori-teori yang berkaitan dengan tubuh, kekuasaan, kontrol politik terhadap tubuh perempuan melalui patriarki adalah termasuk tema utama dalam feminisme. Penulis lain yang banyak juga menulis tentang perempuan dan selalu mengaitkannya dengan budaya patriarki di dalam adat adalah Oka Rusmini.
Salah satu novel karya Oka Rusmini yang sarat dengan pemberontakan perempuan terhadap budaya dan adat yang merugikannya adalah Tarian Bumi. Tarian Bumi terbit pertama kali pada tahun 2000 dan mendapat penghargaan “Penulisan Karya Sastra 2003” dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Novel ini adalah salah satu karya yang menandai sebuah babak baru penulisan prosa panjang di Indonesia. Tarian Bumi menampilkan dunia perempuan yang sama sekali berbeda dibandingkan penggambaran yang pernah ada dalam khasanah sastra sebelumnya. Perempuan dalam Tarian Bumi, dicitrakan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, dan memberontak.
Luh Sekar dan Telaga; Kasta dan Perempuan
Tarian Bumi bercerita tentang Luh Sekar dan Telaga. Dua tokoh, ibu dan anak yang berbeda pandangan tentang arti sebuah kebahagiaan. Luh Sekar adalah seorang perempuan dari kasta sudra yang sangat berkeinginan untuk menikah dengan lelaki dari kasta Brahmana. Cita-cita Luh Sekar pun menjadi kenyataan ketika menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki brahmana, yang tidak bisa apa-apa, kecuali mabuk-mabukan dan juga bercinta sembarangan dengan berbagai macam perempuan termasuk dengan Kerta dan Kerti, dua adik perempuan Luh Sekar. Setelah menikah dengan lelaki kasta Brahmana, nama Luh Sekar pun berubah menjadi Jero Kenanga. Jero merupakan gelar yang diberikan kepada perempuan kasta rendah yang menikah dengan lelaki dengan kasta Brahmana.
Dari pernikahannya ini, lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Berbeda dengan ibunya yang begitu mengagungkan nilai derajat kebangsawanan, maka Telaga Pidada justru memandang bahwa kasta Brahmana penuh dengan kemunafikan. Telaga Pidada pun lebih tertarik dengan Wayan Sasmitha, seorang lelaki dari kasta rendah. Segala kemewahan, kemudahan yang didapat selama tinggal di griya dan juga gelar kebangsawanan ditanggalkan oleh Telaga Pidada demi Wayan Sasmitha. Telaga Pidada tinggal bersama Wayan, Luh Gumbreg dan Luh Sadri, adik dari Wayan dengan kehidupan khas keluarga sudra yang serba kesusahan, tetapi Telaga Pidada bahagia dengan pilihannya tersebut.
Masyarakat Bali, yang mayoritas menganut agama Hindu, mengenal dan menggunakan sistem kasta dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Kasta yang paling tinggi dan mendapat perlakuan yang istimewa adalah kaum brahmana atau bangsawan, sedangkan kasta yang terendah, atau masyarakat paling bawah adalah kaum sudra. Sistem kasta ini secara otomatis menjadikan laki-laki sebagai puncak atau titik tolak segala sesuatu, termasuk kekuasaan sehingga menimbulkan sebuah sistem yang disebut dengan sistem patriarki. Patriarki adalah suatu sistem di mana seorang laki-laki mempunyai hak monopoli penuh atas segala kekuasaan, baik untuk rumah tangga atau untuk tubuh perempuan yang menjadi istrinya.
Pada Tarian Bumi, hal ini diperlihatkan oleh pengarang sebagai sesuatu yang menjadikan perempuan sebagai objek penderita di dalamnya.
”Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. ...Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.” (Rusmini, 2004: 31)
Bagi perempuan Bali, hidup adalah menerima. Tidak diperkenankan untuk bertanya, apalagi mengeluh sehingga apapun yang sudah digariskan pada diri mereka harus mereka terima, dan yang bisa mengubah itu semua hanyalah pihak laki-laki, salah satunya lewat perkawinan. Hal ini juga diakui oleh Luh Sekar. Ia yang terlahir sebagai perempuan dari kasta terendah percaya bahwa yang bisa mengubah nasibnya hanyalah seorang laki-laki, laki-laki dari kasta brahmana.
”Apapun yang akan terjadi dengan hidupku, aku harus menjadi seorang rabi, seorang istri bangsawan. Kalau aku tak menemukan laki-laki itu, aku tak akan pernah menikah!” (Rusmini, 2004: 26)
”...Tolong carikan aku seorang Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar. aku siap!” (Rusmini, 2004: 27)
Sikap Luh Sekar ini, yang menganggap bahwa nasibnya ada di tangan laki-laki, adalah sikap perempuan Bali pada umumnya. Mereka masih bersikap intensifying, yaitu menuruti segala peraturan adat dan tata perilaku pada umumnya tanpa peduli bahwa hal tersebut bisa merugikan diri mereka sendiri.
Oleh karena itulah, oleh karena perannya yang sangat penting, laki-laki menganggap dirinya lebih tinggi dan seperti mendapat kekuasaan penuh pada diri perempuan yang telah dikawininya sehingga seringkali berbuat sewenang-wenang terhadap mereka.
...Dan, kalau sudah mengamuk, seluru perabot di rumah akan hancur. Entah apa maunya laki-laki itu. Selalu membuat susah. (Rusmini, 2004: 15)
... Dia selalu menghilang berbulan-bulan. Biasanya bila di rumah kerjanya hanya meneguk minuman. Ayah juga tidak bekerja. (Rusmini, 2004: 25)
Tarian Bumi; Pemberontakan dan Perempuan
Decomposing, atau pemberontakan terhadap nilai-nilai lama, yang pertama ditunjukkan dalam novel ini adalah lewat pandangan Ida Ayu Sagra Pidada, Nenek Telaga. Mulanya, seperti kebanyakan perempuan Bali, Nenek Telaga juga berpandangan bahwa apapun yang telah dilakukan oleh seorang laki-laki, selama ia adalah suaminya, maka kewajiban seorang istri-lah untuk berbakti dan menghormatinya.
...Laki-laki itu makin jarang di rumah. Nenek juga takut menanyakan ke mana saja laki-laki itu pergi. Nenek takut ditinggalkan. (Rusmini, 2004: 18)
Meski itu suaminya sendiri, tapi Nenek Telaga tidak berani untuk mencampuri urusan pribadinya. Ia masih berpikir, jika ia ditinggalkan, maka ia akan menjadi perempuan yang hina. Nenek Telaga juga berpikiran bahwa perempuan tidak punya kekuatan yang lebih dibandingkan laki-laki.
”Membangun sebuah dinasti itu sulit, Telaga. Apalagi sebagai seorang perempuan,” (Rusmini, 2004: 20)
Nenek telaga masih bersikap intesifyng, masih berpikiran bahwa perempuan tidak mungkin mengalahkan laki-laki, dalam setiap hal, apalagi memimpin sebuah keluarga. Nenek telaga masih beranggapan bahwa perempuan hanyalah mahluk lemah yang tidak bisa apa-apa, jika tidak ada laki-laki. Namun, akibat kekecewaannya terhadap laki-laki, suami dan anak laki-lakinya, Nenek Telaga mulai berpikir bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan hanya terletak di tangan laki-laki.
“Kelak kalau kau jatuh cinta dengan seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang harus kau simpan...Apa untungnya laki- laki itu untukmu....Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sebuah sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih....” (Rusmini, 2004: 21)
Ia-lah yang menanamkan pikiran pada Telaga, bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada laki-laki saja, tapi perempuan juga ikut menentukan kebahagiaan itu sendiri. Salah satunya adalah dengan cara memilih, bukan hanya dipilih.
Tokoh perempuan lain, yang juga melakukan Decomposing, dalam Tarian Bumi adalah Luh Kenten, teman Luh Sekar. Sosok Kenten menggambarkan perempuan yang berbeda, ia memiliki tenaga kuat, bekerja sendiri, dan tidak pernah merasa butuh laki-laki.
Semua orang di desa ini tahu, Luh Kenten perempuan keras kepala. Perempuan yang memiliki tenaga sepuluh laki-laki. Tubuhnya sangat kuat dan tegas. Tak ada seorang pun yang berani berkata-kata kasar dan tidak pantas padanya. (Rusmini, 2004: 36)
Lewat tokoh Luh Kenten yang hanya membenci laki-laki dan mencintai perempuan, Oka Rusmini menawarkan sebuah pemberontakan dari sistem patriarki, sistem laki-laki yang membuat perempuan menderita.
"Akan aku buktikan, kita bisa hidup tanpa laki-laki..." (Rusmini, 2004: 42)
Luh Kenten selalu beranggapan bahwa perempuan jauh lebih berharga dibandingkan laki-laki. Oleh karena itulah ia tidak pernah merasa butuh laki-laki untuk menemani kehidupannya.
Dia percaya perempuan adalah mahluk luar biasa. Buktinya, dalam tubuh perempuan ada susunan yang lebih rumit daripada laki-laki. Setiap lekuk tubuh perempuan menawarkan sensualitas yang luar biasa. (Rusmini, 2004: 42—43)
Tokoh yang melakukan Decomposing berikutnya adalah Telaga sendiri. Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana. Telaga membenci ayahnya yang hanya bisa membuat ibunya menderita.
...Bagi Telaga, ayahnya adalah laki-laki paling tolol....Ketololan laki-laki itu membuat Telaga merasa bisa hidup tanpa laki-laki. (Rusmini, 2004: 12)
Puncak Decomposing yang dilakukan oleh Telaga, yaitu ia berani menabrak nilai sakral adat karena bersedia dikawini oleh laki-laki sudra, kasta terendah. Perkawinan itu tentu saja tidak direstui ibunya, Luh Sekar, yang sejak awal mengharapkan anaknya disunting lelaki bangsawan. Sementara, oleh ibu mertuanya, Telaga juga tidak sepenuhnya diterima karena kehadiran perempuan brahmana dalam keluarga sudra diyakini hanya akan membawa sial.
Namun, Telaga tetap pada pendiriannya, dengan menikahi Wayan, Telaga membuktikan bahwa ia-lah yang memilih siapa yang akan menjadi suaminya, bukan sistem atau adat. Meskipun untuk itu ia harus melepas semua gelar kebangsawananya.
” Hari ini juga tiang akan meninggalkan nama Ida Ayu. Tiang akan jadi perempuan Sudra yang utuh...” (Rusmini, 2004: 220)
”Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan, hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” (Rusmini, 2004: 222)
Novel Tarian Bumi, dengan mengambil budaya Bali sebagai latar, merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. Filsafat Bersperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan. Jakarta, 2003
Bambang, Eko. 2003. “Oka Rusmini; Melawan Tradisi Patriarkhi”. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Purwati, Apa itu Gender, http;// www.ceritaremaja.com
Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: IndonesiaTera
Saturday, 6 March 2010
Pertanyaan yang Tak Terjawab
Sampai saat ini banyak sekali pertanyaan yang nggak terjawab tentang banyak hal yang gua pikir berkaitan satu sama lain yang menentukan kemana akhir dari semua perjalanan ini. Dari awal nggak ada satu hal pun yang gua perkirakan akan terjadi yang membawa gua pergi jauh dari rumah...dan nggak tau kemana tujuan gua akan pergi...memang semua tindakan dan keputusan yang gua ambil nggak pernah gua pikirkan, semua terjadi begitu saja...membawa gua menatap ribuan wajah yang harus gua ingat namanya satu persatu...walaupun ketika banyak nama masuk lagi dalam kehidupan gua dan akan banyak nama yang terlupakan, satu nama berarti satu cerita...atau bahkan satu nama memiliki banyak cerita...cerita tentang perjuangan dan keputusasaan, kegembiraan dan kesedihan, bertahan hidup dan kematian, cinta dan kebencian...bahkan cerita-cerita yang gua sendiri nggak mengerti apa arti dari semuanya...Kadang gua pikir kita tidak perlu merencanakan sesuatu dalam hidup karena segala sesuatu ada yang mengatur jadi cuma perlu siap terhadap segala sesuatu yang akan kita hadapi...spontan...tak terduga...impulsif...cuma bisa bergerak jika ada rangsangan dari luar...entah memang pemalas atau apatis dengan hidup gua sendiri...tapi gua cuma mau bisa membahagiakan orang-orang yang ada disekitar gua...walaupun gua gak kenal...gua gak perduli dia baik atau jahat...laki-laki, cewek atau banci...mereka patut diterima...satu hal yang gua benci adalah seorang pengkhianat...karena buat gua kepercayaan adalah segalanya...kepercayaan hal yang nggak kelihatan tapi tak ternilai harganya...nilai tertinggi dari sebuah hubungan, hal yang diperjuangkan dan diperebutkan malaikat dan iblis...itulah sedikit tentang gua...harapan gua suatu saat bisa tau arti dari semuanya...
Peace, Love and Empathy
Peace, Love and Empathy
Tuesday, 12 January 2010
Monday, 4 January 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)